MAKALAH
FILSAFAT
KOMUNIKASI
Tentang
Perspektif Ilmu
Komunikasi
(Perspektif
Interaksional dan Perspektif Pragmatis)
Ahmad Rafid : 1512010060
Cut Nauval
Dafistri : 1512010055
Dara Tristia : 1512010046
Gesna Murni : 1512010042
Rony Amrizal : 1512010054
Roby Hardinata : 1512010044
Dosen Pembimbing
Dr. Neni Efrita
M.Si
JURUSAN
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL
PADANG
2016 M/ 1438 H
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena Anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Perspektif Ilmu Komunikasi”. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta
rahmat bagi seluruh alam semesta.
Pemakalah
sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Mata
Kuliah Filsafat Komunikasi, Disamping
itu, dalam proses pendalaman materi tentunya
kami mendapatkan bimbingan, arahan, dan pengetahuan, untuk itu rasa terima
kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada ibu Dr. Neni Efrita, M.si
dosen Mata kuliah Filsafat Komunikasi.
Terlepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Padang,
18 Maret 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Sebagai Makluk Sosial manusia senantiasa ingin
berhubungan dnegan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya,
bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini
memaksa manusia perlu berkomunikasi.
Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah
berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya.
Oleh sebab itu, menurut Dr. Everett kleinjan , komunikasi sudah merupakan
bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas, sepanjang manusia
ingin hidup, ia perlu berkomunikasi
Aubrey Fisher menyatakan bahwa fenomena komunikasi manusia
sedemikian kompleksnya sampai-sampai dapat digambarkan pada tiga kata: serba
ada, serba luas, serba makna. Lebih dari itu, dalam kehidupan keseharianpun,
kata komunikasi digunakan dalam berbagai cara.
Dalam mata kuliah filsafat ilmu komunikasi
akan membahas mengenai perspektif ilmu komunikasi, bahwa perspektif itu
merupakan cara pandang kita terhadap sesuatu, penggunaan perspektif mewajibkan
kita untuk toleran pada perbedaan cara pandang, juga arif dalam menggunakan
berbagai metode. maka bagaimana cara pandang terhadap ilmu komunikasi itu? Maka
pemakalah akan menguraikan pada bab II.
- RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian Perspektif Ilmu Komunikasi?
2.
Apa saja pembagian dari
perspektif ilmu komunikasi?
3.
Bagaimana penjelasan tentang perspektif interaksional dan
Pragmatis?
BAB II
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN PERSPEKTIF ILMU KOMUNIKASI
Perspektif adalah sudut pandang dan cara pandang kita terhadap
sesuatu. Cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati
kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. Misalnya pengetahuan
kita tentang rumah dari perspektif ekonomi berbeda dari perspektif artistic,
sosial dan sebagainya. Walaupun demikian, suatu perspektif tidak berlaku secara
semena-mena. Rumah adalah rumah, tidak mungkin atas nama perspektif ia dianggap
sebagai jeruk. Jadi perspektif pada suatu perspektif menyerap benda itu
sekaligus makna dari pengetahuan tentang benda itu dalam kerangka epistemologis.
Perspektif yang kita
gunakan dalam menghampiri suatu peristiwa komunikasi akan menghasilkan
perbedaan yang besar dalam jawaban dan makna yang kita deduksi. Perspektif selalu mendahului observasi kita. Kita bisa saja
mengamati suatu peristiwa dengan pikiran yang terbuka dan netral, namun begitu
kita harus mengopservasi suatu hal, kita akan melakukan dengan cara tertentu.
Istilah perspektif disana tidak dipilih asal
saja. Menggunakan istilah teori, sudah tentu
istilah teori, merupakan istilah yang tidak memadai dalam hal ini.
terutama karena adanya perkembangan mutakhir di bidang komunikasi manusia yang
begitu pesat. Istilah
paradigma dari Kuhn diinterprestasikan begitu berbeda-beda sehingga mencegah
penggunaan secara netral. Simpulmya, penggunaan perspektif cukup tepat bagi
ilmu komunikasi, salah satu alasannya yaitu “bila mana seseorang mengamati
peristiwa komunikasi, orang tidak memandang aksiomatis tertentu dalam benaknya.
Yang terlihat olehnya adalah bahwa orang tadi membuat gerakan dan suatu
tertentu. Relevan atau arti pentingnya dari gerakan dan suara itu merupakan
produk dari konsep yang dipergunakan untuk memahami peristiwa komulatif
tersebut. Konsep tersebut menentukan apa yang relevan dalam peristiwa tadi,
dalam pengertian ini apa yang dicakup oleh orang tadi, dicakup oleh konsep tadi
dan dinyatakan sebagai hal yang tidak relevan.[1]
Ilmu Komunikasi itu
mencari untuk memahami mengenai produksi, pemroresan, dan efek dari simbol
serta sistem signal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum
generalisasi guna menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan produksi,
pemrosesan dan efeknya.[2]
Menurut Pemakalah maka
Pengertian dari Perspektif Ilmu Komunikasi yaitu Cara kita memandang atau
pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati kenyataan akan menentukan
pengetahuan yang kita peroleh suatu peristiwa komunikasi akan menghasilkan
perbedaan yang besar dalam jawaban dan makna yang kita deduksi.
- PERSPEKTIF ILMU KOMUNIKASI
Terdapat empat perspektif ilmu komunikasi, yaitu : Perspektif
Mekanistis, Perspektif Psikologis, Perspektif Interaksional, Perspektif
Pragmatis dan Perspektif Lain.
Dalam pembahasan ini pemakalah hanya menguraikaan tentang
perspektif Interaksional dan Perspektif Pragmatis.
1.
Perspektif Interaksional
Perspektif Interaksional menunjukkan pandangan komunikasi manusia
yang telah berkembang secara tidak langsung dari cabang sosiologi yang dikenal
sebagai interaksi simbolis. Interaksi simbolis secara relatif . merupakan
pendatang baru dalam studi komunikasi manusia, berawal dari abad ke19 yang
lalu. Namun pengaruh interaksi simbolis ini bahkan tumbuh lebih belakangan
daripada itu.
Dari semua perspektif yang telah diterapkan pada studi komunikasi
manusia, barangkali yang paling bersifat “manusiawi”, adalah yang beraliran
interaksionisme simbolis. Perspektif interaksional menonjolkan keagungan dan
nilai individu diatas nilai pengaruh yang lainnya. Manusia dalam dirinya
memiliki esensi kebudayaan, bersosialisasi dengan masyarakat, dan menghasilkan
buah pikiran tertentu. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir
dengan mempertimbangkan diri manusia. Inilah karakteristik utama dari seluruh
perspektif ini.
Dalam setiap diri individu, perwujudan “diri” menunjukkan
eksistensi “saya” (“1" ) dan “aku” (“me")-yang hanya dapat dibedakan
secara
teoretis, tetapi dalam realitasnya merupakan dimensi-dimensi diri yang saling
bergantung dan tidak dapat dipisahkan. Diri itu sendiri merupakan objek (“aku”)
dan subjek (“saya”) tindakan. “Saya” bertindak, akan tetapi, “aku” ada; yakni
“aku” berisi kesadaran si pelaku, pengalaman “saya” di masa silam dan
pengalaman yang diamatinya.
Konsep diri dari Mead, merupakan proses reflektif
yang sangat berbeda dari psikologi perilaku (psikologi behaviorisme).
Individu tidak menyaring pengalaman melalui konsep yang diperolehnya dan yang
bersifat semi permanen itu. Ia bertindak atas pengalaman dan pengorganisasian
tindakan pada masa silam, masa yang sekarang, dan masa yang akan datang atas
dasar penafsirannya itu.
Perilaku yang sebenarnya bukan sekadar respons, tetapi lebih
merupakan suatu aset dari proses penafsiran pada penunjukan diri dan bukan
memberikan respons pada kekuatan baik di dalam maupun dari luar individu. Dalam
pengertian ini, interaksionisme tidak memandang individu sebagai wujud unik dan
terintegrasi yang memiliki kognisi dan keyakinan yang terinternalisasikan, akan
tetapi sebagai mahluk sosial. Manusia tidak hanya berada pada medan stimulus
sebagai penerima yang selektif, akan tetapi ia bertindak terhadap fenomena
lingkungan secara kreatif dan refleksif.[3]
Perspektif interaksional memungkinkan individu untuk melihat
dirinya sendiri sebagaimana orang-orang lain melihat padanya. Supaya menjadi
objek penafsiran diri, maka diri (the self) harus meninggalkan dirinya (self)
untuk melakukan penafsiran itu; yakni. individu mengasumsikan proses penafsiran
orang lain itu (disebut sudut pandang) agar dapat menentukan aku (the self)
tadi. Jadi, si individu tersebut mengambil peran orang lain di luar dirinya dan
terlihat dalam penafsiran persis seperti apa yang akan ia lakukan terhadap
setiap objek lain, baik objek
fisik maupun sosial.
Pemerian humanistis pada interaksionisme mengubah cara memandang
proses komunikasi manusia. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, perspektif
interaksional merupakan reaksi humanistis terhadap psikologi S-R Sebagai reaksi
yang negatif, terdapat banyak implikasi yang mencerminkan pencarian sesuatu
yang baru dalam pengertian apa yang disebut oleh Matson dan Montagu (967 : 1-1
1) sebagai suatu revolusi yang belum selesai. Implikasi lainnya, khususnya bagi
metodologi penelitian, mencerminkan anti tesis terhadap model hukum peliput
(covering law) dari kedua perspektif yang pertama. Sebagai hasilnya, perspektif
interaksional menyajikan arah baru dan penekanan yang berbeda.
Blumer (seorang penganut
interaksional) mengemukakan 3 premis yang menjadi dasar model ini :
pertama, manusia bertindak berdasarkan
makna yang diberikan individu terhadap lingkungan sosialnya (simbol verbal,
simbol non verbal, lingungan fisik). Kedua, makna itu berhubungan langsung
dengan interaksi sosial yang dilakukan individu dengan lingkungan sosialnya.
Ketiga, makna diciptakan dipertahankan, dan diubah lewat proses penafsiran yang
dilakukan individu dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya.[4]
Setelah membaca pembahasan diatas, Menurut versi
pemakalah bahwa perspektif interaksional ini
manusia sebagai makhluk sosial untuk
melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang lain melihat padanya. Contohnya,
Contoh dalam
model interaksional ini yaitu ketika dua orang dengan budaya yang berbeda
saling berkenalan. Dalam perkenalan tersebut kedua komunikator pasti akan
berinteraksi dengan menanyakan nama, alamat, nomor telepon ataupun yang lain.
Jika dalam obrolan itu mereka sudah menemui titik klop, seperti tokoh idola
mereka yang sama, pasti mereka berdua lebih membuka diri dalam membicarakan
tentang dirinya dan juga tokoh idolanya tersebut, sehingga proses interaksi
mereka dapat menyatu dan saling memberikan timbal balik (feedback).
Dalam konteks ini komunikasi berlangsung secara efektif.. Dari konteks kalimat tersebut kalau
interaksi yang terjadi antarb individu saling aktif, reflektif, dan kreatif
dalam memaknai dan menafsirkan suatu pesan yang dikomunikasikan. Interaksi
antar individu tidak sepihak, jadi interaksi semakin cepat memberikan pemaknaan
dalam penafsiran terhadap pesan yang disampaikan semakin memperlancar kegiatan
komunikasi.
2. Perspektif
Pragmatis
Perspektif ini merupakan yang terbaru dari empat perspektif
yang ada dalam komunikasi. Hampir
seluruh perkembangannya bermula dari penerbitan buku Pragmatic of Human
Communication tahun 1967 oleh Watzlawick, Beavin dan Jackson.
Perspektif pragmatis 'tentang komunikasi
manusia didasarkan pada asumsi pokok sistem dan informasi. Perspektif ini
merupakan aplikasi yang sesuai dari sistem pada komunikasi manusia dan jelas
merupakan perkembangan baru yang berbeda untuk penelitian komunikasi manusia.[5]
Sekalipun istilah pragmatika berasal dari studi semiotika (semiotics),
namun perspektif pragmatis tidak memiliki hubungan dengan semiotika untuk
prinsip-prinsip teoretis / filosofisnya. Prinsip-prinsipnya secara langsung
lebih banyak berasal dari sistem umum (general system theory), campuran,
multidisipliner dari asumsi, konsep dan prinsip-prinsip yang berusaha
menyediakan kerangka umum bagi studi berbagai jenis fenomena-Hsika, biologi dan
sosial.
Perspektif pragmatis menyajikan alternatif paradigma yang sangat
berbeda dengan tiga perspektif sebelumnya. Komponen-komponen
khas dalam perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang-orang yang
terlibat dalam komunikasi. Karena itu satuan komunikasi yang paling mendasar
adalah tindak perilaku atau tindak yang dijalankan secara verbal atau nonverbal
oleh seorang peserta dalam peristiwa komunikatif. Tindakan kemudian
dikategorikan dalam fungsi yang dilaksanakan dalam komunikasi.
Tindak terjadi dalam rangkaian peristiwa yang sinambung.
Keberurutan (prinsip “rangkai” dari Hawes, 1978) tindak menjadi penting. Tindak
tertentu harus mendahului tindakan, dan suatu tindakan menyusul tindakan lain.
Karena itu satuan analisis yang lebih penting dari sistem komunikasi bukanlah
tindakan tetapi interaksi atau interaksi ganda.
Sepanjang waktu pola interaksi itu dapat dipengaruhi oleh
perubahan. Sistem komunikasi dapat mengubah pola interaksi yang khas dan
perubahan itu secara empiris dapat diketahui melalui pencatatan perubahan dalam
pola yang redundan dari interaksi dan interaksi ganda. Bergeser dari satu pola
interaksi ke pola karakteristik lainnya menunjukkan bahwa sistem komunikasi itu
meninggalkan satu fase interaksi dan meninggalkan fase yang lainnya.
Beberapa sistem komunikasi merupakan sistem yang terus berlangsung
sebagai suatu sistem dalam periode yang panjang. Karakteristik sistem
komunikasi yang sedang berjalan adalah pola interaksi, fase, dan siklus.
Sepanjang suatu periode waktu yang lama pola karakteristik interaksi dan
fase-fasenya dapat saja berubah mungkin karena adanya perubahan lingkungan atau
perubahan struktural dalam sistem tersebut karena anggotanya masuk dan
meninggalkan sistem tersebut .[6]
Komunikasi tidak hanya terjadi dalam sistem sosial ia juga
berfungsi menentukan sifat dan eksistensi sistem sosial itu sendiri. Sistem
sosial dan sistem komunikasi adalah sama dan dapat dipakai secara bergantian,
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan hendaknya tidak dilihat
sebagai wujud yang berdiri sendiri.
Umumnya penelitian komunikasi yang dijalankan dalam perspektif
pragmatis mengamati sistem sosial yang berbentuk diad (dua orang) atau
kelompok. Sifat diad tersebut memperlihatkan keragaman dalam pemilihan sistem
sosial. Beal (1975) mencenninkan perspektif pragmatis dalam meninjau fenomena
“maksud” yang sifatnya internal. Perspektifnya dipertumpul oleh berbagai asumsi
mekanistis dalam kerangka model komunikasi dan kategorinya serta teknik
penelitian yang implisit secara relatif bersifat tidak canggih. Namun
memperlihatkan satu cara dalam menghubungkan fenomena komunikatif internal
kepada perilaku komunikatif yang eksternal.
Yang fundamental bagi setiap studi komunikasi manusia yang serius
dalam perspektif pragmatis adalah daftar kategori yang menyatakan fungsi yang
dilakukan oleh komunikasi manusia dan yang memungkinkan tindakan komunikatif
untuk diulang kembali pada saat yang berlainan. Langkah berikutnya dalam
memahami komunikasi manusia adalah mengorgani” sasikan urutan yang sedang
berlangsung ke dalam kelompok-kelompok karakteristik sehingga peristiwa itu
“cocok" satu sama lainnya dalam suatu pola yang dapat ditafsirkan. Urutan
itu diberi cara penggunaannya berkat keterbatasan yang diberikan pada pilihan
interaktif: yakni makin beruruturutan, maldn banyak struktur yang diperlihatkan
oleh pola interaksi.
Komunikasi dalam perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku Orang-orang
yang terlibat dalam komunikasi. Karena itu, satuan komunikasi yang paling
fundamental adalah tindak perilaku atau tindak yang dijalankan secara verbal
atau nonverbal oleh seorang peserta dalam peristiwa komunikatif Tindak itu lalu
dikategorikan ke dalam berbagai fungsi yang dilaksanakan komunikasi.[7]
Teori Pragmatis Suatu pernyataan dinilai benar jika
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan
manusia. Contoh,”
memakai helm wajib bagi pengendara sepeda motor”, adalah benar karena
pernyataan tersebut berguna dalam kehidupan praktis.[8]
Setelah membaca pembahasan diatas, Menurut versi
pemakalah bahwa perspektif Pragmatis ini
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Perspektif Ilmu Komunikasi
yaitu Cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati
kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh yaitu suatu peristiwa
komunikasi akan menghasilkan perbedaan yang besar dalam jawaban dan makna yang
kita deduksi.
Perspektif interaksional menonjolkan keagungan dan nilai individu
diatas nilai pengaruh yang lainnya. Manusia dalam dirinya memiliki esensi
kebudayaan, bersosialisasi dengan masyarakat, dan menghasilkan buah pikiran
tertentu. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan
mempertimbangkan diri manusia.
Perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang-orang yang
terlibat dalam komunikasi. Karena itu satuan komunikasi yang paling mendasar
adalah tindak perilaku atau tindak yang dijalankan secara verbal atau nonverbal
oleh seorang peserta dalam peristiwa komunikatif. Tindakan kemudian
dikategorikan dalam fungsi yang dilaksanakan dalam komunikasi.
- SARAN
Dengan mempelajari tentang
perpektif ilmu komunikasi semoga kita sebagai calon sarjana jurusan Komunikasi
Penyiran islam dapat memahaminya dari pemparan dan penjelasan pemakalah. Bahwa
penggunaan perspektif mewajibkan kita untuk toleran pada perbedaan cara
pandang, juga arif dalam mebggunakan berbagai metode. Singkatnya memilih suatu
perspektif sama artinya dengan memilih mengerjakan halhal menurut suatu cara
pandang tertentu, tidak menurut satu cara yang lain, perspektif yang kita pilih
itu terkandung keuntungan dan keterbatasan, akan tetapi kita tidak memiliki hak
untuk mengingkari nilai dan untuk mempermasalahkan validitas perspektif lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees, 2009, Filsafat
Ilmu Komunikasi, Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Mufid, Muhammad, 2009, Etika dan Filsafat Komunikasi,
Jakarta : Kencana.
Mulyana, Dedy, 2007, Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar,
Bandung, : PT Remaja Rosdakarya.
Wiryanto, 2004,
Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : PT Grasindo Anggota Ikapi.
[1] Elvinaro Ardianto dan Bambang Q-Anees,
Filsafat Ilmu Komunikasi, Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2009, hlm 77.

Komentar
Posting Komentar